Photobucket

Sunday, November 7, 2010

SAHABAT, AKU MENCINTAIMU KRN ALLAH

Suatu ketika seseorang berada disamping Rasulullah saw, lalu seorang sahabat lewat dihadapannya, lalu orang yang berada disamping Rasulullah itu tiba-tiba berkata: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai dia”, “Apakah engkau telah memberitahukan kepadanya?” tanya Nabi. “Belum” jawab orang itu. “Nah…sekarang beritahukanlah kepadanya” timpal Nabi. Kemudian orang itu segera berkata kepada sahabatnya: “sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah…” dengan serta merta sahabat itu menjawab: “Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya…”. (HR. Abu Dawud).

Subhanallah…! sungguh indah ukhuwah yang telah Rasulullah ajarkan kepada para sahabatnya. Ungkapan cinta secara verbal dalam kehidupan nyata itu lahir dari pribadi-pribadi yang ikhlas. Barangkali dalam pandangan kita hari ini, ungkapan-ungkapan seperti itu terkesan klise atau bahkan terlalu formalistik. Tapi tidak buat generasi terbaik saat itu. Sikap lahiriah yang mereka tampilkan adalah cermin dari kepribadian tulus yang tidak dipoles basa-basi.

Kita tentu masih ingat dengan kisah mengharu biru antara Sa’id bin Rabi’ al Anshary dengan Abdurrahman bin ‘Auf ketika mereka dipersaudarakan oleh Rasulullah setelah peristiwa hijrah. Sa’ad dengan segenap ketulusan memberikan kepada sahabat yang dicintainya hanya karena Allah itu sebidang kebun dan seorang istri yang tentu sangat dibutuhkan oleh Abdurahman bin ‘Auf saat itu untuk memulai kehidupan barunya di Madinah. Namun sikap Abdurrahman saat itu tak kalah bijaksana. Dia menolak tawaran tersebut secara halus, dan hanya minta ditunjukkan padanya sebuah pasar agar ia mulai bisa mandiri memulai hidup barunya.

Sangat kontras barangkali dengan kondisi kita hari ini. Kita terkadang alpa memberikan hak orang lain yang seharusnya kita berikan, namun diwaktu yang sama kita sering menuntut hak kita lebih banyak. Padahal kehidupan yang sakinah selalu dibangun atas dasar keseimbangan; saling memberi dan saling menerima. Sebab sikap takâful tidak bisa lahir begitu saja tanpa melalui proses ta’âruf (saling mengenal), tafâhum (saling memahami), dan ta’âwun (saling bekerjasama).

Rasanya mustahil kita akan bisa mencintai sahabat atau saudara seakidah jika kita tidak pernah mengenalnya. Lalu apakah mengenal disini adalah syarat mutlak untuk mencintai saudara seiman? Jawabannya adalah tidak. Tapi standar yang jadi ukuran kita adalah, cinta kita hanya karena Allah. Artinya, kita dituntut mencintai sahabat dan saudara kita dalam ketaatan kepada Allah. Tatkala kita melihat seseorang yang memiliki kesalehan dan ketaatan maka kita mencintainya karena ketaatannya, sebaliknya jika kita lihat seseorang telah menyimpang, makak kita dianjurkan hanya membenci perbuatannya bukan dirinya. Sekaligus dalam waktu yang sama kita harus selalu mendekatinya untuk diajak kembali kepada Allah. Inilah makna dari kisah dalam penggalan hadits diatas. Bukankah antara kedua sahabat Rasulullah itu juga belum saling kenal? Tapi masing-masing merasakan bahwa ada satu titik temu yang mempertautkan hati mereka, yaitu keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ingat…hati dan jiwa seperti inilah yang telah dijamin oleh Allah untuk dipersatukan dengan rahmat-Nya. Bagaimanapun usaha manusia untuk menyatukan hati dan jiwa, bahkan dengan mengumpulkan segala potensi yang dimiliki langit dan bumi sekalipun, niscaya hanya hati dan jiwa yang disatukan oleh Allah lah yang terus bisa langgeng dan bertahan.

Selama ini kita sering salah persepsi tentang arti kata ‘kenal’. Kita sudah merasa cukup dikatakan ‘gaul’ dan banyak teman ketika kita dikenal oleh orang banyak, atau kita selalu merasa cukup mengenal seseorang dari nama, asal daerah dan beberapa kesukaannya. Padahal proses perkenalan itu sebenarnya sepanjang masa. Setiap kita dituntut untuk selalu memperdalam ta’âruf sesama kita dalam setiap kesempatan, apalagi jika frekuensi pertemuan kita dengan saudara kita tidak terlalu sering. Semakin dalam perkenalan tersebut akan melahirkan sikap tafâhum dan bisa terhidar dari perasaan negatif atau sangkaan yang tidak mendasar.

Saling memahami pada dasarnya adalah, bahasa lain dari sikap bisa menerima orang lain apa adanya dengan segala kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya. Seringkali kita ingin dipahami, tapi sangat sulit bagi kita untuk sekedar berempati memahami orang lain. Kenapa hal itu bisa terjadi? Salah satu sebabnya barangkali adalah sifat ego yang belum mampu kita tundukkan. Disamping itu, kita tidak siap untuk berbeda dan terbiasa mengukur orang lain dengan diri kita. Akibatnya akan sulit terwujud sikap saling memahami, padahal Allah telah menciptakan perbedaan itu secara alami.

Kehidupan para sahabat radhiallahu ‘anhum adalah teladan utama dalam membina kesepahaman dalam kemajemukan. Masing-masing mereka mewakili karakter yang sangat berbeda. Tapi perbedaan itu bukan perbedaan tanâqud (kontradiktif), tapi lebih bersifat tanawu’ (variatif). Antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab jelas menggambarkan dua watak yang sangat berbeda, tapi mereka telah memberikan contoh terbaik dalam menerapkan sikap tafâhum. Sebagai bukti, estafet dakwah yang telah digariskan oleh Rasulullah saw mampu mereka emban dan teruskan untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.

Kekokohan sebuah ukhuwah adalah prasyarat utama meraih prestasi dan membangun peradaban besar. Obsesi sebesar apapun akan mudah dicapai jika dikerjakan secara kolektif (amal jama’i). Sebaliknya jika nilai-nilai ini sudah melemah, maka kehancuran sudah dihadapan mata. Sebagai umat yang pernah memimpin peradaban dunia selama lebih dari delapan abad walaupun akhirnya runtuh, ternyata ditemukan dari beberapa catatan sejarah bahwa salah satu faktor utama keruntuhan tersebut disebabkan oleh melemahnya nilai-niali ukhuwah dan persaudaraan. Silang pendapat tak jarang berakhir dengan perang saudara. Saling percaya mulai memudar sehingga mudah disusupi oleh musuh-musuh Islam yang memang sudah sejak lama mencari kesempatan untuk turut andil menumbangkan kedigdayaan Islam ketika itu.

Jika sikap tafâhum telah terbina dengan baik, akan mudah menjalin kerjasama dan saling membantu. Pekerjaan berat akan terasa ringan jika dikerjakan bersama. Berbagai kekurangan akan mudah ditutupi. Disamping itu rasa solidaritas akan mudah diwujudkan. Itulah filosofi ta’awun yang sudah mulai luntur dalam kultur muslim hari ini. Padahal Rasulullah telah menganalogikan hubungan antar sesama muslim dalam berbagai dimensi kehidupan ini ibarat satu tubuh yang tak mungkin terpisahkan. Jika salah satu anggota tubuh sakit atau terluka, maka anggota tubuh lain turut merasakannya. Bahkan Rasulullah menegaskan dalam sebuah hadits shahîh bahwa keimanan seseorang tidak akan sempurna jika ia tidak mampu mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya. Seluruh konsep Islam tentang ukhuwah bukan saja sekedar teori, tapi telah dibuktikan oleh sejarah. Para pelaku sejarah itu adalah orang-orang pilihan yang telah ter-sibghah (tersentuh) oleh tarbiyah Islamiyah dari generasi ke generasi. 

Dr. Abdullâh Darrâz dalam bukunya zâdul muslim lil dîn wal hayât mengkalsifikasi manusia dalam interaksi sehari-hari kepada tiga kelompok, diantaranya :

Pertama, Orang yang selalu ingin mengambil haknya dari orang lain atau bahkan boleh jadi tidak berkaitan dengan haknya. Dalam waktu yang sama dia tidak mau memberikan kewajibannya atau hak orang lain yang wajib ia tunaikan. Sifat ini termasuk dalam kategori dzhâlim. Orang seperti ini tidak memiliki kepedulian sosial dan kepekaan serta cendrung sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa kehidupan ini dibangun atas dasar takâful satu sama lain. Semoga kita tidak termasuk kedalam golongan ini.

Kedua, Orang yang selalu berfikir ‘fifty-fifty’. Atau dalam bahasa lain adalah mu’amalah bil mukâfi’. Artinya, saya akan memberi jika ia memberi. Atau saya akan memberi dan membalas perbuatannya sesuai dengan ukuran yang ia berikan kepada saya. Mereka menjadikan pola interaksi sosial seperti layaknya jual beli. Karena hanya konsep jual beli yang memakai filosofi mubâdalah. Padahal interaksi sosial dan ukhuwah bukanlah jual beli, lebih dari itu ukhuwah adalah ‘ruh’ kehidupan ini. Saling memberi dan saling menerima sering disalah pahami oleh sebagian kita hanya; jika dia memberi maka saya akan membalas, tapi jika dia tidak memberi maka tunggu dulu.

Karakter hedonis dan egois sudah semakin menggerogoti manusia-manusia modern. Nilai-nilai persaudaraan bahkan diukur dengan kepentingan dan materi. Mereka yang berkiblat dengan paham ini akan selalu berprinsip; tidak ada teman setia dan tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan.

Dibanding kelompok pertama, maka golongan kedua ini masih mending walaupun belum ideal. Minimal dia tidak berbuat zalim dan merugikan orang lain. Dalam fikirannya selalu ada kalkulasi untung dan rugi.

Ketiga, Orang yang memiliki sifat Itsâr. Itsâr dalam makna sesungguhnya telah Allah sebutkan dalam al Quran: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al Hasyr : 9)

Sifat ini sudah jadi barang langka, bahkan orang yang masih mengamalkan sikap ini dicap sebagai orang yang tidak rasional. Sungguh Islam ini akan kembali bangkit jika setiap jiwa kita mampu memaknai dan mengaktualisasikan kembali nilai ini. Memang tidak semudah mengucapkannya. Untuk mengamalkannya diperlukan persiapan ruhy yang optimal. Mendapatkan kondisi ruhy seperti ini, tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi ia butuh proses dan waktu.

Bagaiamana prosesnya? Perkuat hubungan dengan Allah dan interaksi sosial sesama makhluk, dan sadari bahwa kehidupan didunia adalah Dârul ‘amal, sedangkan kebahagiaan sempurna hanya ada di akhirat. Jika hal ini mampu kita lakukan, maka kita akan semakin bisa bermu’amalah dengan saudara kita dengan ‘ahsanul mu’amalah’. Hati kita akan selalu mudah peka dan lembut sebab kita sadar hanya Allah tujuan kita.

Sahabat….keindahan mentari pagi dengan cahayanya yang menembus disela-sela pepohonan dan dedaunan adalah kekuatan yang memberikan kehidupan bagi makhluk. Begitu juga dengan ukhuwah, ia ibarat sinar mentari yang membangkitkan kehidupan, mata air yang memberikan kesejukan dan pelepas dahaga, rembulan di malam hari yang menerangi perjalanan seorang musafir. Semua kita adalah musafir dalam hidup ini. Mahathah akhir kita adalah ridho Allah, dan saat ini kita masih dalam perjalanan menuju-Nya.

Sahabat…sungguh ingin kuucapkan betapa aku mencintaimu karena Allah. Kita tidak sedang bermain dengan kata-kata. Kita tidak sedang berbasa basi. Bukankah Allah telah menjanjikan buat kita diakhirat kelak melalui lisan Rasul-Nya? Bahwa diantara tujuh golongan yang mendapatkan perlindungan Allah pada hari akhirat adalah dua orang yang saling mencintai karena Allah? bertemu karena Allah dan berpisah karena-Nya juga? Masihkah kita ragu dengan janji-Nya?

Sahabat…bukalah pintu hatimu! Aku ingin berbagi cerita denganmu. Betapa disetiap sudut sajadah doaku teruntai sebait doa untukmu…semoga Allah selalu menyatukan hati dan jiwa kita untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya serta seluruh orang mukmin. Disetiap asa dan harapku semoga kita bisa mengemban amanah risalah dan dakwah ini dalam satu shaf yang rapi.

Sahabat…hari esok akan menjelang, dan perjalanan kita masih terlalu panjang. Genggamlah erat tanganku ini dan mari kita berjanji, bahwa kita akan meneruskan perjuangan ini…apapun yang terjadi! Tersenyumlah…karena Allah akan meridhoi kita sahabat…! Untuk sahabat/I di KSMR, pereratlah ukhuwah!

No comments:

Post a Comment